Berhenti Menjelaskan Dirimu Kepada Siapa Pun

 




"Hari ini aku belajar berhenti menjelaskan diriku ke orang lain. Kalau mau diturutin juga nga akan ada habisnya. Karena orang yang udah tau dan paham diriku nga akan butuh itu. Dan orang yang nga tau aku dan sejak awal emang beda pandangan sama aku, mau dijelasin kaya bagaimana pun belum tentu bisa paham." @ssenjarindiani


Akhir-akhir ini aku suka banget scroll-scroll instagram. Seringnya sih untuk mencari motivasi, kadang juga lagi bosan tapi lebih seringnya lagi jadi malas melakukan hal lain. Tapi kadang memang mampu memotivasi juga merubah pola pikir bahkan memperluas cara pandang ku terhadap berbagai hal, seperti pada kutipan dari salah satu pengguna instagram di atas.


Sebenarnya kata-kata di atas sama seperti kutipan dari Ali Bin Abi Thalib. Kamu tidak perlu menjelaskan dirimu kepada siapa pun, karena orang yang mencintaimu tidak membutuhkan itu dan orang yang membencimu tidak peduli. Intinya jadi dirimu yang apa adanya, nga perlu memperdulikan pandangan orang lain terhadapmu, jika kamu nyaman menjalaninya.


Pernah nga sih kalian di suatu sirkel pertemanan yang seringkali menyudutkanmu, membuatmu susah mengekpresikan diri yang sebenarnya. Bahkan perkataan atau pun sikap mereka mampu membunuh mimpi-mimpi yang sudah kami bangun lama. Tanpa memikirkan perasaanmu mereka mengatakan bahwa kamu terlalu ambisius, egois, anti sosial, menyedihkan bahkan mentertawakan usahamu yang aneh itu. Bahkan biasanya ini orang yang sudah kamu kenal lama.


Tau nga sih gais, sebenarnya mereka itu iri sama kamu. Mereka iri karena tidak bisa melakukan apa yang bisa kamu lakukan. Mereka iri dengan apa yang kamu miliki, yang sebenarnya mereka juga menginginkan, tapi tidak mampu. Ya bisanya cuman iri dan mematahkan semangatmu, biar kamu tidak semakin meresahkan hidup mereka. So, nga perlu dipertahankan gais hubungan pertemanan yang seperti ini, sampai kapan pun hanya akan membuatmu berkembang dan membunuh keunikan dirimu.


Sama halnya dengan orang-orang yang mencintaimu, mereka akan menerima dirimu apa adanya. Walaupun pada dasarnya tidak ada manusia yang benar-benar mampu memahamimu, selalu ada untukmu, paling paham dengan perasaanmu, tidak ada.  Orang tuamu pun juga tidak akan mampu. Tetapi orang-orang yang tidak mencela mimpimu, mematahkan semangat dan mentalmu, tidak ikut menghinamu disaat yang lain mencacimu harus kamu hargai dan pertahankan dia. Teman seperti itu langka sangat langka, habiskan waktumu bersama orang-orang yang mendukung mimpimu, yang mau tumbuh dan berproses bersama. Bersyukur jika masih di anugrahkan orang-orang yang seperti itu karena jumlahnya pasti tidak akan banyak.



Pasti capek banget  memaksakan diri agar diterima di suatu sirkel pertemanan yang dari awal mereka memang beda pandangan sama kamu. Mau kamu meyakinkan, menjelaskan dengan usaha yang begitu keras mereka juga belum tentu mau memahamimu. Ini juga berlaku untuk hubungan percintaan, jika kalian tidak sefrekuensi dari awal dan tetap saling berpegang teguh pada prinsip masing-masing yang dianggap paling benar, juga bakal susah. Kaya di film Habibie Ainun 3, mereka sama-sama memiliki cita-cita tinggi, tetapi nga sefrekuensi ya susah. Ehhh kok sempe sini juga.


Kembali lagi, cara pandang seseorang dalam menjalani hidup memang berbeda-beda. Hal ini juga dipengaruhi oleh pengalaman yang sudah di jalani, buku yang dibaca, kebiasaan dan pola pikir yang dibangun.  Jadi nga perlu merasa sedih, bersalah atau menurunkan target atau cita-citamu. Sungguh, tidak perlu!!!. Tinggalkan mereka secepatnya, tidak perlu takut, sayangi mentalmu. Dirimu lebih berarti dari apa pun.


Orang yang berwawasan luas, rasa saling menghargai akan semakin tinggi. Bukan merasa paling benar sendiri. Cukup buktikan kepada mereka dengan prestasi dan realisasi dari cita-cita yang sudah kamu bangun tersebut. Dan satu lagi, tidak perlu memberitahukan semua tujuan hidupmu kepada orang lain. Cukup kamu dan Tuhan yang tahu, kejutkan dengan pencapaian-pencapaianmu. Kalau kata Ahmad Rifa'i Rifan, hidup hanya sekali jadi harus berarti. 


Written : Artika Lusiani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan paradigma anak dan orang tua

[Review] Novel The Perfect Muslimah_Ahmad Rifa’i Rifan

Untuk Manusia-Manusia Datar, yang seringkali Termarginalkan