Perbedaan paradigma anak dan orang tua
Seberapa seringkah kalian berbeda pendapat atau berbeda paradigma antara kamu dengan orang tua?. Kalau sering berati kita sama wkwkk. Salahkah?
Menurutku hal ini tidak salah dan tidak perlu merasa bersalah, tergantung bagaimana kita menyikapinya. Yang salah adalah jika kita merasa paling benar dengan pendapat kita dan mengganggap pendapat orang tua salah, tidak gaul dan sudah ketinggalan zaman.
Orang tua cenderung berfikir jauh kedepan, tidak perlu mengikuti trend yang penting masa depan anaknya cerah, ngak hidup susah. Mereka kebanyakan menuntut anaknya untuk menerima keadaan, tidak aneh-aneh, apa adanya. Melarang anaknya untuk menuntut ini dan itu, melarang ikut ini dan ikut itu. Orang tua cenderung tidak menyukai perubahan, tidak mau ribet dan mengharuskan kita untuk selalu nerimo atau menerima keadaan. Tanpa disadari orang tua telah membuat anaknya terjebak di zona nyaman. Namun, tidak semua pemikiran orang tua seperti itu, tapi kebanyakan begitu. Hehee
Dulu orang tuaku juga begitu, terlalu kolot menurutku, membuatku terkekang, suka melarang-larang dan membuatku hidup tidak bebas. Terutama seorang wanita yang menurutku cukup egois, namun sangat peduli denganku, biasa ku panggil "mamak", iya beliau adalah ibuku. Dari kecil, aku memiliki kepribadian yang suka memberontak, jika menurutku itu benar. Mungkin orang yang belum terlalu mengenalku, aku terlihat sebagai orang yang pendiam, suka mengalah, tidak suka berdepat dan suka ngak enakan. Tapi, itu juga tidak sepenuhnya salah. wkwkk.
Berbeda dengan bapakku, beliau selalu memberikanku kebebasan, bahkan mempercayai diriku bahwa diriku sendirilah yang berhak memberi batasan sendiri. Aku dibebaskan untuk berbuat apa saja, melakukan apa saja atau memutuskan apa saja. Ini menurutku adalah sebuah kebahagiaan tersendiri yang tidak dimiliki oleh semua anak. Namun, juga beban karena dipercayai dan bagaimana menjaga kepercayaan tersebut. Kami sering kali sepemahaman, namun tidak dengan cara berfikir kami.
Walaupun aku dan bapakku sering berbeda paradigma, namun tidak jarang kami saling curhat-curhatan. Membuatku semakin berani untuk terbuka, berani menceritakan apa-apa saja yang memenuhi otakku yang suka berhalusinasi ini, walaupun hanya sebagian. Berbeda saat dengan ibuku, aku tidak banyak berkata-kata bahkan semakin membuatku tertutup saja. Iya, aku salah satu penduduk bumi yang berkepribadian introvert.
Dari sebagian kecil beban hidup bapakku, termasuk rumah tangganya dan beberapa lainnya, aku adalah salah satu yang dijadikan beliau sebagai tempat berbagi cerita, dengan alasan aku adalah anak pertama. Dari beberapa ceritanya seringkali aku tidak paham, tidak mengerti dan belum berpikiran jauh kesana. Serikali aku hanya tersenyum dan mengiyakannya, supaya beliau senang dan semoga bisa mengurangi sedikit beban hidupnya. Beliau berharap besar kepadaku, membuatku merasa memiliki amanah yang begitu besar untuk mewujudkan semua harapannya.
Sebagai anak pertama, aku dituntut untuk selalu siap dan sigap dengan perubahan dengan benturan-benturan. Dituntut untuk mengerti keadaan, dipaksa memahami apa yang belum sampai di pola pikirku yang pendek ini. Dituntut untuk menjadi sosok yang sempurna, sebagai contoh untuk adikku dan dianggap sebagai pembuka keberhasilan untuk adikku. Pundakku terasa berat dengan amanah ini. Di sisi lain membuatku senang, karena aku seberharga ini, diharapkan dan dihargai.
Beberapa hari aku merenung memikirkan dan merenungkan setiap perkataan bapakku. Meresapi setiap emosi dan kasih sayang ibuku yang beliau utarakan melalui kata-kata dan larangan-larangan yang diulang-ulang, menurutku ini berlebihan. Tetapi, kata orang ini adalah salah satu bentuk kasih sayang dari seorang ibu. Dan seringkali aku membandingkan cara orang tua teman-temankudalam mendidik anaknya. Mereka sangat berbeda-beda dalam mendidik anaknya, di sisi lain ada kesempurnaan di orang tua temanku dalam mendidik anak membuatku ingin diperlakukan demikian. Di sisi lain, aku bersyukur tidak semua orang diberi kebebasan dan kepercayaan seperti yang diberikan bapak kepadaku. Hingga berhari-hari kepalaku pusing, aku ini memang manusia payah suka memikirkan apa yang tidak perlu aku fikirkan.Seringkali menyusahkan diriku sendiri dengan fikiran-fikiran liarku, aku memang suka berhalusinasi.
Hingga hari ini aku baru memulai melanjutkan tulisanku ini, setelah tertunda beberapa bulan yang lalu. Bukan karena sibuk, hanya saja aku bingung menyampaikan isi kepalaku lewat tulisan, dalam hal menulis aku masih sangat amatiran. Berharap sekali ada orang yang memungutku untuk diajari menulis dengan baik tidak semrawut seperti ini, hehee. Semoga suatu saat akan ada, setidaknya memiliki teman yang nyaman untuk diajak diskusi tentang hal apapun. Itu sudah cukup bagiku, semoga suatu hati Tuhan berbaik hati kepadaku dan mengirimkan dia untukku, Amiiinin gehhh.
Jadi menurutku setiap orang tua memiliki cara tersendiri untuk menyayangi anaknya, dengan cara yang berbeda dan pola pikir yang berbeda pula. Namun, satu kesamaannya mereka yaitu selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya, dengan caranya.
Mari sekali-kali mencoba berada di sudut pandang mereka, maka kamu akan menemukan sebuah rahasia, bahwa doa selalu mereka langitkan untuk anak-anaknya tercinta. Jadi, apa salahnya berbeda paradigma dengan orang tua?, bukankah perbedaan menjadikan kita kaya?. Semoga kita dan orang tua kita bisa menjadi "saling".
Written: Artika Lusiani
Komentar
Posting Komentar