Review Film, Gie
Setelah tuntas membaca buku berjudul Catatan Seorang Demonstran, terbitan LP3ES Jakarta. Akhirnya dengan senang hati aku akan mereview filmnya yang berjudul "Gie". Buku dan film tersebut menceritakan tentang kisah perjalan hidup seorang mahasiwa pemberani, cerdas, kritis, idealis dan ganteng, bernama Soe Hok Gie. Dalam film tersebut sosok Soe Hok Gie diperankan oleh Nicholas Saputra.
Film tersebut rilis sejak 2005 lalu, waktu aku berusia 5 tahun. Namun sampai saat ini, nilai-nilai yang ditularkan Soe Hok Gie sangat relate untuk mahasiswa. Soe Hok Gie adalah anak keempat dari lima bersaudara, ia keturunan Tionghoa. Gie lahir tanggal 17 Desember 1942, di Jakarta. Ayahnya adalah seorang penulis dan sastrawan. Sehingga, tidak aneh jika ia hobi membaca, menulis dan terbaik dalam sastra.
Sejak kecil ia selalu memberontak terhadap ketidakadilan ataupun yang menurutnya tidak semestinya. Dendam dimulai ketika ia masih SMP, nilai mata pelajaran sastra awalnya delapan namun dikurangi tiga oleh gurunya. Karena ia membantah penjelasan gurunya yang salah, yaitu tentang perbedaan antara pengarang dan penerjemah. Bagi murid lain tentu takut dan malas berdebat dengan guru hanya karena mempertahankan pendapatnya, namun tidak dengan Soe Hok Gie. Ia pun membuang nilai ulangan tersebut pada mata pelajaran tersebut.
Di kelas ia dikenal pandai, selalu masuk peringkat tiga besar. Suatu hari ia protes karena menjadi terbaik ketika dalam mata pelajaran sejarah, padahal ia merasa yang paling tinggi nilainya. Namun kepala sekolah meminta agar Gie meminta maaf kepada guru sejarah yang pernah ia debat. Namun bukan Gie jika tidak teguh pendirian. Sampai akhirnya ia muak dan meminta untuk dipindah sekolah.Setelah perdebatan panjang dengan ibunya, akhirnya ia diperbolehkan pindah sekolah.
Han sahabat Soe Hok Gie bertanya, "Lo kenapa sih Gie ngeberontak terus, padahal nilai Lo nga jelek-jelek amat, jelekan juga nilai gue", tanya Han.
"Han kita ngak bakal bisa bebas seperti ini kalau tidak melawan. Soekarno, Hatta, Syahrir, mereka semua berani memberontak dan melawan. Mereka semua berani melawan kesewenang-wenangan" tegas Gie.
Dalam film tersebut Soe Hok Gie terkadang dipanggil Soe kadang Gie, namun setiap memperkenalkan diri. Ia memperkenalkan kepada orang lain namanya Soe, tetapi teman-temannya memanggil dirinya Gie. Dalam film tersebut tidak ada percakapan Anata ia dan ayahnya, Gie memanggil ayahnya "Baba". Ayah Gie sepertinya kurang dalam hal komunikasi dengan anak-anaknya.
Dibalik sikap idealisme yang ia pegang teguh, Soe Hok Gie adalah seorang yang friendly dan setia kawan. Terbukti ketika Han teman terdekatnya dimarah oleh bibinya ia membelanya. Berusaha tidak membiarkan sahabatnya dihukum bibinya.
Cerita kemudian langsung berganti, Gie masuk kuliah di Universitas Indonesia (UI). Kecerdasan dan kekritisannya semakin terasah. Suatu hari Ia diminta untuk menemui Soekarno sebagai delegasi pemuda-pemuda yang setuju dengan asimilasi Soekarno. Ia pergi dengan menggunakan baju pinjaman, yang cukup kedodoran. Menurutnya, Soekarno seperti raja-raja Jawa pada umumnya, yaitu mendirikan keraton-keraton dan beristri banyak. Ia sebenarnya tidak menyetujui beberapa kebijakan Soekarno, apalagi menjadikan Soekarno sebagai presiden seumur hidup.
Film tersebut juga mengungkapkan kekejaman-kekejaman sebelum orde baru, yang menimbulkan banyak kesengsaraan rakyat di tanah sendiri. Maraknya pembunuhan masal, perampasan dan keserakahan pada masa Soekarno. Hal yang paling parah pada masa ini adalah kenaikan harga makanan pokok dan bensin yang mealmbung tinggi, hingga masyarakat kesulitan memenuhinya.
Hal ini menjadi pengetahuan baru bagi saya. Sejak kecil dalam cerita ibu saya, zaman Soekarno Dan Soeharto adalah zaman tidak adanya kemiskinan, makmur dan damai. Ternyata malah sebaliknya, kekejaman dan keserakahan orde baru sangat buas.
Gie kuliah di jurusan sejarah. Awalnya ia sangat minat di sastra namun juga tertarik dengan sejarah. Tulisan-tulisan Gie tajam dan penuh kritik. Buku-buku dari barat mempengaruhi pemikirannya dalam menentang politik yang carut marut. Kebencian Gie dengan Soekarno dimulai ketika melihat orang kelaparan dan memakan kulit mangga pada 10 Desember 1959. Ia kemudian memberikan uang kepada orang tersebut agar membeli makan yang layak. Tepat 2 km dari tempat tersebut adalah istana negara, yang kemungkinan besar Soekarno sedang tertawa.
Selain hobi membaca dan menulis ia juga hobi memanjat gunung. Setiap ia penat, akan hiruk pikuk dunia, ia selalu naik gunung. Menurutnya hanya alam yang mempu menyembuhkannya. Soe di UI memiliki sahabat baru, yaitu Herman O. Lantang, Ira dan satunya aku lupa, Deni kalau tidak salah namanya.
Hingga Gie bertemu dengan sahabat lamanya yaitu Han, namun sekarang Han menjadi anggota partai terlarang, yaitu PKI. Gie yang sangat menyayangi sahabatnya itu bersikeras menasehati, agar Han keluar dari organisasi tersebut. Namun, Han menolak dengan alasan ingin hidup lebih layak, kemudian pergi meninggalkan Gie. Gie sedih, hingga teringat kebersamaan mereka dahulu, ke pantai, gunung dan dimana-mana selalu berdua. Namun temannya terjerumus masuk partai terlarang.
Partai sudah masuk kampus, namun mahasiswa berdiri di atas masing-masing partai tersebut. Bahkan mereka salah adu jotos demi membela partai mereka.
Gie tidak setuju ia ingin mahasiswa menjadi satu tujuan, yaitu menyuarakan inspirasi rakyat tanpa membawa golongan. Yang menganggap salah sebagai kesalahan dan benar sebagai kebenaran. Bukan membabat habis-habisan demi membela organisasi mereka.
"Bagiku sendiri politik adalah barang yang paling kotor. Lumpur-lumpur yang kotor. Tapi suatu saat dimana kita tidak dapat menghindarinya lagi, maka terjunlah". Kutipan dari Soe Hok Gie tentang tanggapannya terkait politik.
Saat itu untuk membuat rakyat percaya bahwa pemerintah bersih dari komunis, maka pemerintah menaikan harga-harga kebutuhan pokok dan juga bensin. Sehingga banyak rakyat yang tidak mampu membeli kebutuhan pokok dan mahasiswa yang tidak mampu membayar angkot untuk kuliah. Sementara pemerintah sedang berfoya-foya dan bercinta dengan para selirnya. Dengan begitu rakyat tidak sempat membela haknya karena untuk makan saja susah. Sementara ABRI tidak bertindak, sebagai pihak pembela rakyat, semua takut dengan pemerintah dan dijadikan boneka.
Melihat keadaan yang semakin suram, seluruh mahasiswa UI melakukan demo hingga ke ibu kota dan tempat-tempat penting lainnya. Mereka menuntut agar Soekarno memberantas PKI, namun Soekarno malah menikah lagi.
Gie kuliah di UI jurusan sejarah. Awalnya ia sangat minat di sastra namun juga tertarik dengan sejarah. Tulisan-tulisan Gie tajam dan penuh kritik. Buku-buku dari barat mempengaruhi pemikirannya dalam menentang politik yang carut marut. Kebencian Gie dengan Soekarno dimulai ketika melihat orang kelaparan dan memakan kulit mangga pada 10 Desember 1959. Ia kemudian memberikan uang kepada orang tersebut agar membeli makan yang layak. Tepat 2 km dari tempat tersebut adalah istana negara, yang kemungkinan besar Soekarno sedang tertawa.
Gie dikenal sebagai orator yang ulung, dan memiliki jiwa leadership yang tinggi. Sehingga walaupun ia tidak mengikuti banyak organisasi namun ketika ia sudah memimpin demo, semua mahasiwa mengikutinya. Ia tegas dan berani menyuarakan pendapatnya, dan membela sesama.
Kutipan Soe Hok Gie yang paling aku ingat, yaitu "Lebih baik diasingkan daripada menyerah pada kemunafikan". Menurutnya diam adalah melanggengkan kejahatan.
Kutipan Yunani yang paling digemari Soe Hok Gie. "Nasib terbaik adalah tidak dilahirkan. Yang kedua dilahirkan tapi mati muda dan yang tersial adalah umur tua. Rasa-rasanya memang begitu. Berbahagialah mereka yang mati muda",
Namun sesuai dengan kutipan yang ia sukai, Gie meninggal pada usia 26 tahun, tepatnya 1 hari sebelum ia berulang tahun yaitu 16 Desember 1969 di gunung Semeru. Awalnya ia ingin merayakan ulang tahunnya dengan beberapa anggota organisasi Mahasiswa Pecinta Alam (Mapala). Yang ia bentuk dengan teman-temannya, namun maut menjemputnya ia dan satu temannya menghirup gas beracun yang ada di kawah gunung, hingga meninggal dunia.
Sebelum meninggal ia menuliskan surat untuk Ira sahabatnya, persahabatan yang rusak karena salah satunya jatuh cinta. Ira menyukai Soe Hok Gie, namun Gie terlalu mengormati Ira sebagai sahabatnya. Sehingga mereka tetap bersahabat, meskipun di akhir Jra tidak mau bertemu Gie. Kemudian menyesal setelah membaca surat terakhir Gie untuknya, yaitu:
Ada orang yang menghabiskan waktunya ke Mekkah
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Mirasa
Tapi aku ingin menghabiskan waktu ku di sisi mu... sayangku...
Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandala Wangi
Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di danau
Ada bayi-bayi yang mati lapar di Biapra
Tapi aku ingin mati di sisi mu...
Manis ku...
Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tak satu setan pun tahu
Mari sini sayang ku...
Kalian yang pernah mesra
Yang simpati dan pernah baik pada ku
Tegaklah ke langit luas atau awan yang mendung...
Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita tak kan pernah kehilangan apa-apa
Selasa, 11 November 1969
Untuk lebih jelasnya tentang Soe Hok Gie, kalian bisa menonton filmnya, berjudul "Gie". Atau membeli bukunya berjudul, "Catatan Seorang Demonstran". Sampai kata terakhir ini ditulis, aku masih jatuh cinta dengan Soe Hok Gie.
Written: Artika Lusiani
Komentar
Posting Komentar