Review Buku: Strawberry Generation

 Judul buku : Strawberry Generation     

Penulis : Rhenald Kasali

Penerbit : Mizan Anggota IKAPI

ISBN : 978-602-441-029-2

Halaman : xi dan 281




"Orang-orang yang menghambat perubahan bukanlah orang yang kurang pandai, melainkan orang yang terkurung oleh cara berpikirnya sendiri."


Buku ini keren banget, mengkritisi dan memberikan solusi tentang permasalahan anak muda saat ini yang mudah galau, susah mencari pekerjaan, terasing dari lingkungan sosial, ijazah kertas dan membahas tentang kesalahan sistem pendidikan di Indonesia yang tak kunjung teratasi, serta kesalahan-kesalahan orangtua dalam mendidik anak. Sehingga menghasilkan manusia lembek, mudah menyerah, rendah diri, penakut, mudah di adu domba dan pemalas.

Saya kali ini cukup bingung bagaimana harus mereview buku ini, karena setiap kata yang ditulis adalah penting dan saling berhubungan. Buku ini terdiri dari lima bab, kemudian terpecah lagi menjadi beberapa judul kecil. Namun antara halaman satu dengan lainnya saling berkaitan. Jadi akan lebih susah memahami dan menangkap isi buku ini, jika tidak membacanya runtut dari awal. Pada bagian pertama membahas tentang mindset, bagaimana cara agar memiliki mindset yang ingin terus tumbuh, sarjana kertas, deep understanding, dan lainnya.

Bagian awal buku ini menjelaskan bahwa, orang bodoh tidak selamanya bodoh, pun sebaliknya. Para penentang perubahan biasanya orang-orang yang merasa dirinya pintar. Meski tingkat kecerdasan mereka tinggi, ternyata statis. Ingin terlihat hebat, tetapi sebenarnya mereka mudah menyerah dalam menghadapi tantangan baru. Mereka ingin tetap berada pada hal-hal yang sudah mereka kuasai. Upaya-upaya belajar tidak ada dan sangat sensitif kritik. Keberhasilan orang lain dilihat sebagai ancaman.

Berbeda dengan orang-orang yang cepat beradaptasi, menerima hal-hal baru (growth mindset). Meski saat sekolah tidak seberapa pintar, kecerdasan mereka dapat dikembangkan dan dilatih karena mereka terbuka terhadap masukan-masukan dan kritik. Bagi mereka, tantangan baru justru merupakan kesempatan bagus untuk membuat diri menjadi lebih unggul pada bidang-bidang baru, dan kegagalan adalah peluang untuk belajar bukan akhir dari segala-galanya. Belajar lebih keras adalah jalan untuk menjadi orang hebat. Kalau ada orang lain yang berhasil, mereka akan dijadikan kawan, bukan ancaman. Dari orang-orang hebat itulah, mereka bisa berubah, menjadi lebih hebat.

Memang benar, semua hal besar bersumber dari pola pikirnnya terlebih dahulu. Anak-anak yang berhasil menemukan potensinya bukanlah anak-anak yang IQ-nya tinggi atau IP tinggi. Melainkan anak-anak yang mindset-nya terbuka atau tertutup, mengembang atau menguncup. Tugas orang tua, bukan membuat anak menjadi orang hebat namun sesaat, melainkan membuat anak untuk tumbuh berkembang, menemukan pintu masa depan beradaptasi dengan perubahan.

Pintar yang dibutuhkan saat ini adalah pintar untuk terus tumbuh (growth mindset), bukan pintar yang sudah selesai (fixed mindset). Apa ciri-ciri mereka? Mereka merasa kualitas kecerdasannya belum apa-apa. Mereka masih mau belajar, siap menerima tantangan-tantangan baru, mengganggap kerja keras penting, menerima feedback negatif untuk melakukan koreksi, dan bila ada pihak yang lebih hebat, mereka akan menjadikan orang itu sebagai tempat belajar.

Mengapa banyak orang bergelar akademis tinggi kurang berhasil, kaku, bahkan frustasi dalam hidupnya?. Salah satu kutipan terkenal Alexander Graham Bell menjelaskan pentingnya melatih daya kelenturan anak-anak dan ternyata berasal dari dirinya. "Ketika satu pintu tertutup, pintu-pintu lain terbuka. Namun, acapkali otak kita terpaku begitu lama menyesali pintu-pintu yang tertutup itu sehingga tidak mampu melihat pintu-pintu yang dibukakan." Manusia harus banyak bertanya dan belajar dari sudut yang berbeda. Penting bagi kita untuk tidak mudah menyerah, dan bisa fleksibel, ketika gagal cari kesempatan lain. Belajar lebih banyak tentang banyak hal, dan dari sudut pandang yang berbeda-beda.

Belakangan ini kita jarang mendengar kata cekatan. Seakan-akan kecerdasan emosi dan IQ, nilai angka, adalah segala-galanya. Padahal dahulu orangtua melatih agar anak-anaknya cekatan: cepat kaki ringan tangan, segera jalankan tugas, serta melatih keterampilan dengan cepat dan tepat. Belakangan, tubuh anak-anak kita menjadi malas, kurang gerak, bahkan tanpa harus berpikir banyak hal bisa datang sendiri.

Di negara-negara industri, problem seperti ini sudah lama disadari dan mereka mengambil langkah cepat untuk memperbaharuinya. Tanpa cekatan, produktivitas perekonomian suatu bangsa akan terhambat. Orang akan saling menunggu, menjadi penonton dan penumpang. Bukan duduk di depan menjadi pengemudi. Di jamin dengan upah minimum yang tinggi, suatu ketika mereka akan menjadi sangat menuntut walaupun produktivitasnya rendah.

Dalam buku ini juga menjelaskan tentang bahayanya budaya menghafal pada pendidikan di Indonesia. Anak-anak yang terbiasa menghafal dapat terganggu daya terobosan dan motoriknya. Perhatikanlah anak-anak yang dijuluki si kutu buku. Mereka cenderung menjadi anak rumahan yang malas. Perhatikan juga birokrat-birokrat senior yang direkrut dari kampus-kampus terkenal dengan IPK tinggi. Mereka 'malas bergerak' bukan disebabkan oleh beban pelajaran pada masa lalu, melainkan karena terlalu banyak 'menghafal'. Kuliah menghafal, peraturan-peraturan pemerintah pun dihafal, bukan ditindaklanjuti. Mereka cenderung 'ingin dilayani', bukan menjabat untuk melayani.


Banyak orangtua yang belum menyadari, di balik nilai-nilai tinggi yang dicapai anak-anaknya semasa sekolah, mereka menyandang persoalan besar: Kesombongan dan ketidakmampuan menghadapi kesulitan. Bila hal ini saja tidak bisa diatasi, masa depan ekonominya pun akan sulit. Mungkin, inilah yang perlu dilakukan orangtua dan kaum muda: Belajar menghadapi realitas dunia orang dewasa, yaitu kesulitan dan rintangan.


Psikolog Stanford University yang bernama Carol Dweck, yang menulis eksperimennya dalam buku The New Psychology of Succes, menulis, " Hadiah terpenting dan terindah dari orangtua untuk anak-anaknya adalah tantangan." Ya, tantangan. Apakah itu kesulitan-kesulitan hidup, rasa frustasi dalam memecahkan masalah, kegagalan "membuka pintu,  sampai jatuh bangun pada usia muda. Anak-anak harus dibiasakan dibesarkan dalam alam yang menantang, bukan asal gampang atau digampangkan. Pujian boleh untuk menyemangati, bukan membuatnya selalu mudah.

Hidup yang indah adalah hidup dalam alam sebenarnya, yaitu alam yang penuh tantangan. Inilah esensi perekonomian abad ke-21: Bergejolak, ketidakpastian, dan membuat manusia menghadapi ambiguitas. Namun, dalam kondisi seperti inilah, sesungguhnya manusia berpikir. Ketika kita berpikir, tampaklah pintu-pintu baru terbuka saat pintu-pintu hafalan kita tertutup. Jadi, inilah yang mengakibatkan banyak sekali orang pintar sulit dalam menghadapi kesulitan. Oleh sebab itu, pesan Carol Dweck kepada para orangtua, jangan cepat-cepat merampas kesulitan yang dihadapi anak-anakmu. Sebaliknya berilah mereka kesempatan untuk menghadapi tantangan dan kesulitan.

Manusia berbakat bukanlah dilahirkan, melainkan dibentuk melalui sejumlah latihan. Jadi, anda sendirilah yang harus menemukan bakat itu. UNESCO mengatakan, bangsa yang maju dan perekonomiannya memiliki daya saing adalah bangsa yang menanamkan life skills sedari dini. Life skills adalah kemampuan mengontrol rasa frustasi, cognitive flexibility, dan self control, kemampuan mengambil keputusan dengan jernih, menimbang risiko, kritis dan kreatif, berkomunikasi artikulatif, berempati pada kesulitan orang lain, serta kemampuan melihat dari perspektif yang berbeda.

Orang tua yang suka memaksa anak-anaknya perlu meluangkan waktu, untuk mendengarkan dan introspeksi. Anak-anak yang berhasil adalah anak-anak yang memiliki life skills dan bangsa yang menang adalah bangsa yang mempunyai keterampilan untuk hidup dan pikirannya sehat. Negeri ini membutuhkan orangtua yang cerdas dan guru yang pendidik, bukan pengajar yang sekedar memindahkan isi buku.

"Mereka yang tidak pernah melakukan kesalahan apa-apa bukan berarti hebat. Jangan-jangan mereka tidak pernah melakukan apa-apa." Bukankah untuk menyatakan cinta pada lawan jenis saja anda menghadapi risiko ditolak? Bahkan para komedian baru yang banyak muncul dalam setahun belakangan ini di forum stand up commedy pun mengaku, mereka menghadapi risiko tidak lucu. Namun, sebagai manusia, kita memiliki sebuah kehebatan, yaitu belajar. Sukses bukan milik mereka  memiliki IQ tinggi, memiliki bakat tinggi, dari orang tua yang kaya, tetapi untuk mereka yang mau dan mampu untuk terus membuat dirinya tumbuh dan haus belajar.

Banyak yang bisa menjadi apa saja dengan belajar di alam. Deepak Chopra mengatakan, bahwa alam semesta ini memiliki keteraturan yang disebut dengan the seven spiritual laws of succes. Alam yang baik, bergantung pada tujuh hal yang berasal dari kita: Kejernihan pikiran, pemberian yang kita lakukan, hubungan yang harmonis, sebab-akibat (karma), niat utama dan tuntutan diri, pembebasan dari segala urusan masa lalu, serta darma (keinginan menghasilkan karya yang terbaik). Alam berkembang menjadi guru, kita bisa berguru pada segala yang ada di alam. 

Selain itu, buku ini juga membahas tentang keberhasilan Bill Gates, yang tidak banyak orang tahu. Bill Gates mengatakan, "Jika anda mengambil 20 karyawan terbaik Microsoft, saya pastikan Microsoft (dengan sisa karyawannya) akan menjadi perusahaan yang sama sekali tidak penting." Nasib microsoft ada di tangan orang-orang penting yang loyal, gesit dan berdedikasi. Orang-orang itu adalah harta tidak kelihatan yang menjadi kekayaan perusahaan. Mereka mempunyai kinerja prima dan mampu menginspirasi koleganya. Inilah sosok-sosok yang dinilai mampu membangun kompetensi utama perusahaan. Dan orang-orang seperti mereka jumlahnya tidak banyak. Jadi, jika kamu ingin menjadi pengusaha, maka carilah jaringan pertemanan yang luas dan temukan orang-orang seperti mereka. Untuk menggerakkan usaha anda agar kuat dan maju.

Agak mirip ungkapan George Bernard Shaw, bahwa hanya 2 persen manusia yang benar-benar mau berpikir dalam hidup ini. Nah, mereka yang berpikir itulah yang mencari jalan, memimpin perubahan, mengambil inisiatif dan risiko, serta menemukan masa depan. Mereka jumlahnya tidak banyak, dan biasanya kurang suka menonjolkan diri. Tidak suka banyak bicara karena terlalu asyik bekerja. Mereka biasanya juga memiliki mindset sebagai problem solvers. Kalau ada masalah, orientasinya bukan mencari siapa yang salah, tetapi apa yang salah dan yang lebih penting lagi bagaimana memperbaikinya.

Menurut Dave Ulrich dan Norm Smallwood, sekitar 70 persen proses pembelajaran sebenarnya terjadi dalam aktivitas sehari-hari, dalam pekerjaan sehari-hari. Lalu, 20 persennya diperoleh lewat sharing pengalaman dan observasi, belajar dari para role model atau melalui proses mentoring. Sementara 10 persen sisanya belajar dalam kelas-kelas formal, training, workshop, atau seminar. Melihat besarnya porsi pembelajaran dari pekerjaan sehari-hari, penting bagi kita untuk secepat-cepatnya mengoreksi kekeliruan. Membiarkan kekeliruan berlarut-larut akan membuat kita terbiasa, lalu membudaya dan akhirnya tertanam menjadi mindset. Kalau sudah begini, susah mengubahnya. (Hlm 179)

Di dalam buku ini juga dijelaskan tentang pentingnya keluar dari zona nyaman. Hidup itu ibarat berjudi. Kalau sudah kecanduan, manusia sulit keluar dari perangkap itu. Otak akan memerintahkan, kaki, tangan, dan hati melakukan hal yang sama berulang-ulang karena sudah terbiasa. Itulah zona nyaman. Kita hanya ingin melakukan hal-hal yang sudah menjadi kompensi kita. Membut usaha juga mudah di duplikat oleh oranglain. Membuat kita kehilangan daya jual, substitutable (mudah digantikan), lalu menjadi obselete (usang), ketinggalan zaman karena umur.

Realistis saja, kelak kalangan terpelajar akan menjadi tenaga yang kemahalan bagi industri. Hanya sebagian kecil dari para senior yang didapuk menjadi direksi. Selebihnya bisa dianggap menjadi "beban" (liability) ketimbang "aset". Apalagi kalau terperangkap dalam zona nyaman penuh keluhan dan kegalauan. Nah, sebelum merasa disia-siakan, kita tentu perlu keluar dari zona itu, masuk ke zona belajar. Kita menjadi buta kala kita diberi banyak kemudahan dan kenikamatan. "Sebelum rasa sakitmu melebihi rasa takutmu, kau belum akan berubah."

Berselancar keluar dari zona belajar itu meletihkan, kadang memang pahit. Kamu juga boleh bilang hidup dalam kepahitan itu unethical. But this is your life, your family life, and you should remember those you love. Kalau kita mau hidup enak, ya kita harus belajar terus, tidak boleh ada tamatnya meski tidak ada ijazahnya. Artinya, ya kerja keras, kerja lebih gigih, lebih bertanggung jawab, dan memberi lebih.

Tanpa keterampilan keluar dari zona nyaman, perusahaan-perusahaan Indonesia akan "stuck in the middle" birokrasi sulit "diajak berdansa" menjelajahi dunia baru yang penuh perubahan, dan kaum muda sulit memimpin pembaharuan. Tidak hanya itu orang tua juga kesulitan mendidik anak-anaknya agar tahan menghadapi kesulitan. Dengan memberikan pendidikan formal yang cukup atau kehidupan yang nyaman, tidak berarti mereka menjadi manusia yang terlatih menghadapi perubahan. Apa artinya bergelar S-2 kalau penakut, jaringannya terbatas, "lembek", cepat menyerah, dan gemar menyangkal.

Kata orang bijak, keajaiban jarang terjadi kepada mereka yang tidak pernah keluar dari "zona nyaman". Keajaiban itu hanya ada di luar zona nyaman yang kita sebut sebagai zona berbahaya (a danger zone). Zona berbahaya ini sering dinamakan oleh zona kepanikan (panic zone). Namun, untuk menghindari kepanikan, para penjelajah kehidupan telah menunjukkan adanya zona antara, yaitu zona belajar (learning zone atau challenge zone). Oleh karena itu, belajar tidak boleh ada tamatnya. Sekolah pada lembaga formal bisa menyesatkan kalau beranggapan selesai bagitu gelar dan ijazah di dapat. Apalagi, bila kemudian memunculkan sikap arogansi "saya sudah tahu" atau "mahatahu" tentang sesuatu hal.

Learning itu gabungan dari relearn dan unlearn. Orang yang terbelenggu dalam zona nyaman kesulitan untuk belajar lagi dan membuang pandangan-pandangan lamanya. Dia menjadi amat resisten dan keras kepala.

Manusia belajar sepanjang masa melewati ujian demi ujian. Dan, itu meletihkan, bahkan kadang menakutkan, melewati proses kesalahan dan kegagalan, menemui jalan buntu dan aneka krisis, kurang tidur. Kadang, kita menemukan guru yang baik dan pandai, tetapi kadang bertemu dengan guru  yang menjerumuskan dan menyesatkan. Namun, mereka semua memberikan pembelajaran. Jadi, bagaimana gejala orang yang kesulitan "keluar-masuk" zona nyaman? Saya kira kita bisa melakukan introspeksi.

Hidup ini memang terdiri dari proses keluar-masuk. Kalau sudah nyaman, ingatlah jalan ini akan diikuti orang banyak dan kelak menjadi kurang nyaman. Jangan melewati jalan yang itu-itu saja, karir kita pun akan menjadi usang kalau tidak berubah haluan memperbarui diri. Perusahaan pun lebih senang mendapatkan kaum muda yang masih bisa dibentuk ketimbang kita yang lebih tua, tetapi sudah tidak mau belajar lagi, keras kepala pula.

Kalau kita berani melewati jalan tidak nyaman, lambat laun kita pun bisa meraih kemahiran. Kalau sudah mahir dan nyaman, jangan lupa cari jalan baru lagi. Terus mencari tantangan baru, dan takhlukkan. Siapa yang tidak ingin hidup mapan dan nyaman? Kita bekerja keras untuk meraih kenyamanan dan ketenangan hidup, tetapi para ahli mengingatkan itu semua hanyalah ilusi. Dalam zona nyaman, tidak ada kenyamanan, tidak ada mukjizat selain mereka yang berani keluar dari selimut tidurnya. 

Pengalaman penulis buku ini yang juga sebagai pendidik menemukan, anak-anak yang pintar di sekolah belum tentu pintar di masyarakat. Dan, kegagalan terbesar justru terjadi pada anak-anak yang dibesarkan dalam persekolahan menghafal. Padahal, memorizing is not a good thinking. Menghafal bukanlah cara pikir yang baik. Melatih manusia berpikir adalah masalah mendasar yang perlu dipecahkan dalam sistem pendidikan nasional. Berpikir yang baik akan menghasilkan karya-karya besar meski berisiko tersesat. Namun, bukankah hanya orang tersesat yang berpikir?.

Hanya orang-orang berpikirlah yang tidak mudah tertipu, tidak menjadi manusia sempit yang picik dan memikirkan diri atau kelompoknya sendiri. Dan, tentu saja orang yang berpikir akan menjadi manusia kreatif. Jadi, bukan hanya mata pelajaran yang harus diperbaiki, teknik mengajar dan isi mata pelajaran pun perlu disempurnakan. Jadi, saya kira pendidikan memang perlu disempurnakan, diperbaiki, termasuk cara berpikir guru dan orangtuanya.

80 persen belajar adalah nonformal. Tahukah anda bahwa ilmu yang kita pelajari di kampus cepat tertinggal? Ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat dan adu kejar antara dosen dan penjelajah pengetahuan terus terjadi. Sebagian besar ilmu itu ada di dunia maya dan sebagian lagi ada di tangan orang-orang hebat. Inilah saatnya bagi para social enterpreneur untuk membangun komunitas-komunitas pembelajaran yang bergengsi tinggi dan memberi dampak besar. Brand-nya harus kuat agar para remaja tidak patah semangat, tetapi ilmunya harus lebih kuat lagi.

Hanya saja, tingkat keberhasilan seseorang di dunia informal sangat ditentukan oleh karakter informalis yang mengacu pada kekuatan individu. Jadi, semua tergantung kamu. Tergantung ikatan batin dengan sekolah, disiplin diri, daya juang, kejujuran, assertiveness, dan tentu saja impian. Kamu tinggal menentukan, mau menjadi pengekor seumur hidup, atau menjadi pelopor-pelopor pembaru. Sebaliknya, di dunia formal anda wajib belajar segala hal, baik yang relevan maupun kurang relevan buat hidup anda. Dan tentu saja serba kognitif.

Anak-anak muda, datangi tokoh-tokoh idola anda, belajarlah dari pengalaman mereka. Kemudian bayarlah dengan kesungguhan dan kerja keras. Manusia hebat bukanlah manusia yang memperoleh nilai mata pelajaran yang tinggi, melainkan manusia berkarakter kuat, dapat dipercaya, mudah diterima, memiliki growth mindset, berjiwa terbuka, dan pandai mengungkapkan isi pikirannya dengan baik.

Untuk menjadi penerima hadiah Nobel atau menjadi ahli matematika yang hebat, anak-anak itu harus memiliki keterampilan menulis yang hebat dan kemampuan mengelola frustasi yang kuat. Sayangnya, beberapa sekolah yang sering juara olimpiade malah melarang guru-gurunya mendalami keterampilan menulis.  Kalau anak-anak itu hanya jagoan mengolah rumus dan otak kanannya tidak dilatih, mereka juga tidak akan menjadi orang hebat untuk diri mereka sendiri. Mereka akan frustasi karena tidak ada pengakuan. 

Ilmu belajar menjadi lebih penting daripada apa yang dipelajari itu sendiri sehingga diperlukan lebih dari seorang pengajar, yaitu pendidik. Guru tidak bisa lagi memberikan semua isi buku untuk dihafalkan, tetapi guru dituntut memberikan bagaimana hidup tanpa guru, life long learning. Guru yang bisa mempersiapkan masa depan anak-anak didiknya adalah mereka yang bukan sibuk mengurus kepala anak-anaknya dengan rumus, tetapi membongkar anak-anak didik itu dari segala belenggu yang mengikat mereka.


Bahasa yang digunakan dalam buku ini sangat ringan pemilihan diksi yang tepat. Walaupun tebal, tetapi mampu membuat pembaca tertarik untuk terus menyelesaikan bacaannya karena saling berkaitan. Buku ini relate banget untuk anak muda dan orangtua. Keren. Makannya aku mereview sampai sebanyak ini. Untuk merawat gagasan dalam buku ini, karena menurutku ini adalah cara terbaik menolak lupa. Selamat membaca!.


Written : Artika Lusiani

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perbedaan paradigma anak dan orang tua

[Review] Novel The Perfect Muslimah_Ahmad Rifa’i Rifan

Untuk Manusia-Manusia Datar, yang seringkali Termarginalkan